Seorang Ibu meneliti perkembangan otak bayinya sendiri, dengan sebuah alat khusus yang dipasang di kepala sang bayi. Alat itu kemuadian dihubungkan dengan kabel-kabel computer, sehingga dia bisa melihat pertumbuhan sel saraf otak anaknya melalui layer monitor. Perlu waktu cukup lama untuk menyiapkan semua peralatan tersebut.
Ketika bayinya bangun, dia lalu memberinya ASI. Ketika sang bayi menyusui itulah ia melihat gambar-gambar saraf itu membentuk rangkaian yang indah. Dia terpesona dan berkata, "Oo, begitu menakjubkan!"
Ketika sang bayi sedang asyik menyusui, si bayi berusia sembilan minggu yang bernama Julia itu menendang salah satu kabel computer. Si ibu kaget ,"No!" Karena teriakan ibunya bayi itu kaget, ketika itu si ibu melihat gambar sel syaraf menggelembung seperti balon membesar dan pecah. Kemudian terjadi perubahan warna, yang menandai kerosakan sel.
"Mungkin kesedihan ini hanya saya yang menanggungnya, sebagai ibu dan sekaligus sebagai scientist, saya menyaksikan otak anak saya hancur oleh teriakan saya sendiri, ibunya." Demikian diungkapkan Lise Eliot, PhD, seorang pakar biologi dan anatomi sel Chicago Medical School ( Amerika Serikat ), dalam bukunya "What’s Going On In there."
Ketika sang bayi sedang asyik menyusui, si bayi berusia sembilan minggu yang bernama Julia itu menendang salah satu kabel computer. Si ibu kaget ,"No!" Karena teriakan ibunya bayi itu kaget, ketika itu si ibu melihat gambar sel syaraf menggelembung seperti balon membesar dan pecah. Kemudian terjadi perubahan warna, yang menandai kerosakan sel.
"Mungkin kesedihan ini hanya saya yang menanggungnya, sebagai ibu dan sekaligus sebagai scientist, saya menyaksikan otak anak saya hancur oleh teriakan saya sendiri, ibunya." Demikian diungkapkan Lise Eliot, PhD, seorang pakar biologi dan anatomi sel Chicago Medical School ( Amerika Serikat ), dalam bukunya "What’s Going On In there."
Dari peristiwa itu kita bisa belajar, betapa satu teriakan saja bisa menggugurkan sel otak, apa lagi dengan kemarahan terus-menerus?
Marah, kerap dianggap hal yang biasa, baik di rumah maupun di sekolah. Jika anak melakukan kesalahan, dengan kemarahan orangtua serig beharap bahwa si anak lekas mengerti, merubah sikap dan tak mengulangi perbuatannya. Namun penelitian otak terkini menunjukkan, ketika seorang anak dimarahi maka yang terjadi adalah bergugurannya sel otak.
Tak hanya kalau dimarahi. Tatkala marahpun otak seseorang akan mengalami kerusakan, termasuk anak-anak. Dalam darah ada hormone Cortisol yang biasanya meningkat jika dalam keadaan stress atau marah. Jika hormone Cortisol tinggi, itu bisa merosak otak pusat memori. Karena itu orang pemarah bisa menjadi pelupa.
Oleh karna itu, ketika anak marah, untuk mengawal emosinya disarankan untuk merangkul, memeluk dan mencium atau mengusapnya dengan lembut. Semua sentuhan akan meningkatkan otak untuk memproduksi oksitoksin atau disebut juga love hormone. Jika Oksitoksin diproduksi banyak, maka dapat menekan cortisol sehingga dapat berpikir lagi dengan baik. Oksitoksin dalam hal ini dilpaskan sebagai respons terhadap kontak social, terutama pada skin to skin contact. Hormon ini dilepas setiap kita memeluk anak atau bayi, terutama pada saat menyusui. Karena itu kontak fisik yang teratur dan terus menerus dari orang tua cenderung membuat anak merasa aman dan nyaman.
Marah tidak hanya menggangu otak, namun juga dapat mengubah fungsi organ tubuh. Menurut DR. Mann, brdasarkan penyelidikan ilmiah, marah dapat menimbulkan berbagai perubahan dalam seluruh anggota tubuh, seperti hati, pembuluh darah, perut, otak dan kelenjar-kelenjar dalam tubuh. Seluruh jalan fungsi tubuh yang alamiah berubah pada waktu marah.
Nah, ketika anak melakukan kesalahan, masihkah orang tua memarahi anaknya? Ketika ingin menanamkan hal-hal positif pada anak, mana yang lebih baik: dengan cara marah atau dengan sentuhan kasih sayang?
Marah, kerap dianggap hal yang biasa, baik di rumah maupun di sekolah. Jika anak melakukan kesalahan, dengan kemarahan orangtua serig beharap bahwa si anak lekas mengerti, merubah sikap dan tak mengulangi perbuatannya. Namun penelitian otak terkini menunjukkan, ketika seorang anak dimarahi maka yang terjadi adalah bergugurannya sel otak.
Tak hanya kalau dimarahi. Tatkala marahpun otak seseorang akan mengalami kerusakan, termasuk anak-anak. Dalam darah ada hormone Cortisol yang biasanya meningkat jika dalam keadaan stress atau marah. Jika hormone Cortisol tinggi, itu bisa merosak otak pusat memori. Karena itu orang pemarah bisa menjadi pelupa.
Oleh karna itu, ketika anak marah, untuk mengawal emosinya disarankan untuk merangkul, memeluk dan mencium atau mengusapnya dengan lembut. Semua sentuhan akan meningkatkan otak untuk memproduksi oksitoksin atau disebut juga love hormone. Jika Oksitoksin diproduksi banyak, maka dapat menekan cortisol sehingga dapat berpikir lagi dengan baik. Oksitoksin dalam hal ini dilpaskan sebagai respons terhadap kontak social, terutama pada skin to skin contact. Hormon ini dilepas setiap kita memeluk anak atau bayi, terutama pada saat menyusui. Karena itu kontak fisik yang teratur dan terus menerus dari orang tua cenderung membuat anak merasa aman dan nyaman.
Marah tidak hanya menggangu otak, namun juga dapat mengubah fungsi organ tubuh. Menurut DR. Mann, brdasarkan penyelidikan ilmiah, marah dapat menimbulkan berbagai perubahan dalam seluruh anggota tubuh, seperti hati, pembuluh darah, perut, otak dan kelenjar-kelenjar dalam tubuh. Seluruh jalan fungsi tubuh yang alamiah berubah pada waktu marah.
Nah, ketika anak melakukan kesalahan, masihkah orang tua memarahi anaknya? Ketika ingin menanamkan hal-hal positif pada anak, mana yang lebih baik: dengan cara marah atau dengan sentuhan kasih sayang?
[kredit to: http://www.abuinayat.com]